Permasalahan Industri indonesia
Indonesia adalah negara yang besar dengan jumlah penduduk yang besar pula,hal ini bisa menjadi salah satu faktor pertumbuhan industri di negara ini,tetapi berbagai isu- isu yang berkembang sebagai salah satu dampak era globalisasi sangat berpengaruh terhadap iklim industri di indonesia,kendala dan permasalahan yang terjadi itu antara lain adalah sebagai berikut:
1. Konsentrasi Industri Secara Geografis
Industri Indonesia terkonsentrasi secara geografis ke Kabarin (Kawasan Barat Indonesia),
yaitu Jawa dan Sumatra.
Pembangunan industri dan aktivitas bisnis Indonesia selama lebih dari tiga dasawarsa terakhir
cenderung bias ke pulau Jawa dan Sumatra. Industri manufaktur Indonesia cenderung terkonsentrasi
secara spasial di Jawa sejak tahun 1970-an (Aziz, 1994, Hill, 1990).
dengan kondisi ini,daerah-daerah lain seakan-akan menjadi daerah yang di anak tirikan,padahal di indonesia memiliki 5 pulau besar yang ke semuanya memiliki potensi untuk di jadikan sebagai kawasan industri.
Tidak meratanya pembangunan industri di indonesia menyebabkan dampak sentralisasi yang juga akan menyebabkan kepadatan penduduk di suatu daerah.
2.Tingginya impor di indonesia
Hampir semua industri Indonesia memiliki kandungan impor (import content) bahan baku dan bahan setengah jadi
yang relatif tinggi. Import content industri padat modal lebih tinggi daripada industri padat karya.
Tingginya kandungan impor bahan baku, bahan antara, dan komponen untuk seluruh industri,
yang berkisar antara 28-30 persen antara tahun 1993-2002.
Inilah yang barangkali menjelaskan mengapa melemahnya nilai rupiah terhadap dolar
tidak langsung menyebabkan kenaikan ekspor secara signifikan.
Relatif tingginya kandungan impor bahan baku dan penolong mencerminkan bahwa upaya peningkatan pendalaman industri masih perlu digalakkan. Dengan kata lain, industri pendukung dan terkait, khususnya industri komponen dan hulu, masih belum kokoh dalam menopang struktur industri Indonesia.
Implikasinya, strategi substitusi impor untuk industri andalan Indonesia agaknya perlu diprioritaskan.
Sebenarnya pihak pemerintah dalam hal ini sudah melakukan berbagai macam cara,di antaranya yaitu dengan melaksanakan program padat karya,ataupun berbagai program yang di lakukan oleh pemerintah,yaitu dinas koperasi dan UKM.
berbagai macam cara ini tiada lain adalah untuk meningkatkan daya saing produk dalan negeri.
semoga usaha yang di lakukan pihak pemerintah ini dapat di imbangi oleh pelaku-pelaku industri,ga cuma hisapan jempol belaka.amin....
3. Dualisme Industri
Dualisme industri Indonesia terus berlanjut: Industri kecil mendominasi dari sisi unit usaha (99%) dan penyerapan tenaga kerja (60%), namun menyumbang hanya 22% terhadap nilai tambah. Sebaliknya industri besar dan menengah,yang jumlah unit usahanya hanya kurang dari 1%, menyerap tenaga kerja 40% dan menyumbang nilai tambah 78%.Sementara itu, kontribusi UKM thd PDB sebesar 54-57%, sedang UB sekitar 42-46% selama tahun 2002-2005.
4.Belum Membaiknya Iklim Investasi
Iklim investasi di Indonesia masih memiliki banyak kendala.
Selama 2003 hingga 2006, kendala terbesar bagi para pelaku bisnis adalah ketidakstabilan kondisi ekonomi makro
dan ketidakpastian kebijakan ekonomi cenderung menurun.
Artinya, pelaku bisnis melihat adanya perbaikan lingkungan makro dan kebijakan ekonomi.
Namun, kendala lain yang cenderung memburuk adalah infrastruktur (transportasi dan listrik),
tenaga kerja (regulasi ketenagakerjaan nasional maupun daerah, keterampilan dan pendidikan pekerja).
Kendala yang cenderung membaik di mata pelaku bisnis adalah kebijakan perdagangan dan bea cukai,
akses terhadap modal, keamanan, perizinan baik nasional maupun lokal, biaya modal,
tarif dan administrasi pajak, konflik dan sistem hukum, dan korupsi pada skala lokal maupun nasional.
5.Ekonomi Biaya Tinggi
Berbagai pungutan, baik resmi maupun liar,
yang harus dibayar perusahaan kepada para petugas, pejabat, dan preman masih berlanjut.
Berdasarkan survei di Batam, Jabotabek, Bandung-Cimahi, Jepara-Pati, Surabaya-Sidoarjo,
Denpasar, Kuncoro et al. (2004) menunjukkan masih adanya uang pelicin (grease money) dalam bentuk pungli,upeti dan biaya ekstra yang harus dikeluarkan oleh perusahaan dari sejak mencari bahan baku,
memproses input menjadi output, maupun melakukan ekspor.
Lebih dari separuh responden berpendapat bahwa pungli, perijinan oleh pemerintah pusat dan daerah,
kenaikan tarif (BBM, listrik, dll.)
merupakan kendala utama yang dihadapi para pengusaha, terutama yang berorientasi ekspor.
Rata-rata persentase pungli terhadap biaya ekspor setahun adalah 7,5%,yang setara dengan total Rp 3 trilyun atau sekitar $153 juta (Kuncoro, 2006).Lokasi yang dituding rawan terhadap pungli terutama jalan raya dan pelabuhan.Dengan dalih untuk meningkatkan pendapatan daerah (PAD), pemerintah daerah menerapkan beberapa pungutan, pajak, sumbangan sukarela dan pembatasan-pembatasan yang ditujukan kepada investor dan kegiatan bisnis. Usaha tersebut ternyata mengakibatkan distorsi perdagangan dan tidak sesuai dengan UU No. 34/2000.Situasi saat ini menyebabkan lebih banyak kekhawatiran, khususnya di kalangan investor domestik dan asing, Pemerintah Daerah bersikeras akan hak atas kepemilikan saham pelabuhan dan pajak dari perusahaan asing yang beroperasi di daerah mereka, khususnya perusahaan-perusahaan pertambangan. Fanatisme sektoral mulai bergeser menjadi fanatisme daerah yang overdosis.
jika hal ini tidak di atasi dan bahkan membudaya,maka bukan tidak mungkin bahwa investor akan melirik negara lain untuk berinvestasi,seperti thailand dan filipina,bahkan malaysia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar